KOMPAS.com — Penguasaan negara atas sektor minyak dan gas bumi atau migas dinilai gagal karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas lebih berpihak kepada kepentingan asing. Hal ini mengakibatkan kemandirian energi makin sulit tercapai sehingga merugikan masyarakat.
”Dulu kesepakatannya, pihak asing diundang sementara. Jika sudah pintar ya kita kelola sendiri,” kata pengamat migas, Effendi Siradjudin, dalam seminar ”Proyeksi Energi: Quo Vadis Perpanjangan Kontrak Pembagian Produksi”, yang diprakarsai Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, Selasa (15/12/2009) di Jakarta.
Menurut Effendi, UU Migas sekarang tidak banyak memberi keuntungan secara nasional, cenderung melunturkan kemandirian, dan sulit melawan cengkeraman asing yang merugikan. Karena itu, UU Migas sekarang harus dicabut dan dikembalikan ke substansi Perpu No 44/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta UU No 8/ 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
”Kalau operator minyaknya dipegang asing, mereka pasti akan mencari perusahaan barang dan jasa asing juga. Jadi percuma,” kata Effendi. Saat ini, 85 persen produksi minyak dalam negeri dikuasai asing sehingga 50 persen hasil dilarikan keluar. Pemerintah perlu memberi pengelola blok-blok yang sudah akan habis kontraknya kepada perusahaan nasional. (ANTARA/EVY)
0 komentar:
Posting Komentar